Studi Kasus Farmasi: Batasan Penanggung Jawab & Monopoli

Studi Kasus Farmasi: Batasan Penanggung Jawab & Monopoli

iklan 336x280 iklan link responsive
iklan 336x280 iklan link responsive

Baca Juga

kasus monopoli / persaingan usaha tidak sehat farmasiSalah satu kelebihan rekan-rekan kita yang telah lama melalang buana diberbagai tempat produksi, distribusi, maupun pelayanan kefarmasian (suka gonta ganti tempat kerja maksudnya kali ya :), adalah banyak mengetahui kondisi riil di lapangan tentang dunia farmasi saat ini. Ditempat kerja terdahulu tentunya memiliki kebijakan yang berbeda dengan tempat kerja sekarang, dalam hal melakukan praktik pekerjaan kefarmasian. Ada hal-hal yang sifatnya postitif, tapi tidak sedikit pula hal negatif yang menjadi pengalaman seorang tenaga kefarmasian. Oleh karenanya kita harus terus belajar, berharap dengan demikian dapat membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Jangan sampai masuk zona abu-abu, apalagi terperosok ke lembah hitam. Untuk bahan pembelajaran kali ini, kita akan mempelajari studi kasus mengenai batasan menjadi penanggung jawab dan praktek monopoli dibidang farmasi. Yuk mari mulai saja.

Sebagai bahan studi kasus, saya contohkan sebagai berikut: "Apoteker A menjadi penanggungjawab apotek B yang sekaligus sebagai PSA. Suatu saat ia mendapatkan tawaran untuk menjadi penanggungjawab PBF C dan ia menerima tawaran tersebut. Tanpa melepas status sebagai APA, ia menjadi penanggungjawab PBF C. Untuk mencapai target yang telah ditetapkan perusahaan (PBF C), apoteker A melakukan kerjasama dengan apotek miliknya untuk mendistribusikan obat ke klinik dan balai pengobatan atau rumah sakit-rumah sakit. Apotek akan mendapatkan fee dari kerjasama ini sebesar 2% faktur penjualan. Semua administrasi dapat ia kendalikan dan lengkap (surat pesanan, faktur pengiriman, faktur pajak, tanda terima, surat pesanan klinik dan balai pengobatan atau rumah sakit ke apotek, pengiriman dari apotek ke sarana tersebut dll.). Semua disiapkandengan rapi sehingga setiap ada pemeriksaan Badan POM tidak terlihat adanya penyimpangan secara administrasi". Nah, yang menjaditanyakan , pelanggaran apa yang dilakukan apoteker tersebut ? Dasarnya apa ? Solusinya gimana ?

Sebagaimana rekan bisa analisa dan juga sesuai dengan judul artikel ini, ada dua hal yang menjadi pokok permasalahan dalam kasus tersebut. Yang pertama adalah masalah penanggung jawab, dimana Apoteker A menjadi APA di Apotek B dan juga sekaligus menjadi PJ di Pedagang Besar Farmasi C. Yang kedua adalah pada masalah kesepakatan yang dilakukan oleh pihak Apotek & PBF, dimana keduanya mengadakan perjanjian kerjasama agar mendapatkan keuntungan lebih dibanding melalui prosedur normai. Dari sini, kita sudah menemukan titik pelanggaran yang dilakukan. Namun tentunya akan terasa hampa bila kita menyimpulkan hal tersebut sebagai sebuah pelanggaran tanpa adanya dasar. Sekarang yuk cari apa dasar yang menyebabkan hal tersebut menjadi perbuatan yang salah.

Pembahasan Pelanggaran Pertama


Kita bahas dulu pelanggaran yang pertama ya, yaitu masalah penanggung jawab. Diketahui bahwa seorang apoteker harus memiliki izin Surat Tanda Registrasi Apoteker (STRA), yang mana merupakan tanda bukti bahwa yang bersangkutan telah resmi teregistrasi sebagai salah seorang tenaga kefarmasian yaitu apoteker. Disamping STRA, apoteker juga harus memiliki izin lain ketika hendak melakukan pekerjaan kefarmasian di tempat tertentu. Surat Izin Praktek Apoteker (SIPA), diperlukan apabila bekerja di tempat fasilitas pelayanan kefarmasian. Sedangkan Surat Izin Kerja Apoteker (SIKA), wajib dimiliki ketika melakukan praktek di fasilitas produksi ataupun distribusi / penyaluran kefarmasian.

Dalam kasus ini Apoteker A tidak hanya praktek di Apotek tetapi juga di PBF, sehingga memiliki tidak hanya SIPA APA Apotek tetapi juga memiliki SIKA PJ PBF. Perbuatan ini disebut pelanggaran karena bertentangan dengan peraturan perundangan yang berlaku, yang dalam hal ini diatur dalam Pasal 18 Permenkes 889/2011. Diatur dalam peraturan tersebut bahwa SIPA atau SIKA hanya boleh untuk satu fasilitas kefarmasian, artinya satu apoteker hanya boleh memiliki SIPA atau SIKA untuk satu tempat saja. Bukan boleh memiliki SIPA dan SIKA untuk satu tempat lho ya. Berbeda maknanya kalau begitu.

Dengan begini sudah jelas kan apa dasar perbuatan itu disebut pelanggaran. Sekarang kenapa hal tersebut bisa terjadi, memiliki dua izin sekaligus? Mmm.. kalau ditanya hal ini, saya angkat tangan deh. Soalnya berkaitan dengan birokrasi. Yang bisa menjawab adalah pihak Dinkes Kab/Kota, Dinkes Provinsi, dan BPOM; karena merekalah yang terlibat dalam proses penerbitan perizinan tersebut. Jadi silahkan crosscheck sendiri ya. Itupun kalau memang kasus seperti ini ada didaerah kita. Hal ini merupakan solusi terhadap pelanggaran jenis ini. Namun bila pihak terkait telah dimintai keterangan tetapi tidak menanggapi dengan benar, bisa rekan lanjutkan permasalahan ini ke OMBUDSMAN. Media OMBUDSMAN saya kira akan lebih baik, daripada melalui pengadilah tata usaha negara. Tapi kalau terpaksa, ya silahkan.

Pembahasan Pelanggaran Kedua


Kayanya udah kepanjangan artikel ini. Yang baca bisa bosen bin ngantuk kalau ditambah lebih panjang lagi yak. Jadi untuk masalah yang kedua adalah perjanjian kerjasama antara Apotek dan PBF, saya persingkat saja. Dasar dari pelanggaran tindakan ini adalah Pasal 14 UU 5/99. Pasal tersebut melarang yang namanya integrasi vertikal, yaitu perbuatan pelaku usaha yang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain dengan tujuan menguasai produksi sejumlah produk dalam suatu rangkaian produksi baik berupa barang ataupun jasa yang mana rangkaian produksi tersebut adalah hasil dari pengolahan atau proses berkelanjutan, baik langsung atau tidak langsung, sehingga membuat terjadinya persaingan usaha tidak sehat ataupun juga merugikan masyarakat.

Sebenarnya untuk sebuah kasus yang melibatkan sebuah perjanjian, kita harus menyimak benar-benar isi dari perjanjian tersebut. Tapi disini kita bisa berpatokan pada suatu kenyataan yang kita ketahui, yaitu ada perjanjian antara apotek dan pbf berupa fee bagi apoteker, dimana apotek dan pbf merupakan bagian dari proses penyaluran / distribusi kefarmasian yang berkelanjutan hingga ke klinik atau rumah sakit sebagai tujuan akhir maksud perjanjian tersebut. Secara jelas hal tersebut dapat menimbulkan persaingan usaha tidak sehat, tergantung bagaimana fee tersebut digunakan untuk menimbulkan kerugian terhadap masyarakat. Jadi disimpulkan bahwa pelanggaran yang terjadi adalah tindak pidana berupa integrasi vertikal. Namun tentunya akan lebih jelas bila keseluruhan dokumen diketahui, sehingga kemungkinan pelanggaran bisa dianalisis dengan lebih tepat. Misalnya saja mungkin bisa dikaitkan dengan perjanjian tertutup yang diatur dalam pasal 15 ayat (3).

Sekarang waktunya solusi. Kita kebanyakan akan berpikir: “terus bagaimana bila kita menduga telah ada suat perbuatan persaingan usaha tidak sehat? Saya hanya mengetahui sedikit, tidak semuanya”. Tenang saja, sekarang kan zamannya lembaga independen. Gunakanlah media Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Disini hanya melaporkan selengkapnya setau kita saja, dan akan dijamin kerahasiaannya. Selanjutnya KPPU akan menindaklanjuti laporan kita, mulai dari memanggil para saksi; meminta dokumen; memutuskan perbuatan tersebut benar atau salah; hingga melanjutkan berkas ke kepolisian sebagai bahan penyelidikan tindakan pidana. Jadi daripada melaporkan sendiri kepolisi yang belum tentu kita benar dan takutnya malah dituntut balik, lebih baik ke KPPU aja karena semuanya mereka yang urus.

Tau ngga, pelanggaran integrasi vertikal ini bisa dikenakan denda minimal 25 milyar. Tentunya itu pidana pokoknya, selain itu juga plus tindakan adminstratif dan pidana tambahan buat pelakunya. Bisa kaya mendadak kalau punya duit segitu yah :). Ok dah, segitu dulu pembahasan studi kasus kali ini. Udah diusahaain seringkas mungkin nih. Nulisnya nyambi kerja sih, barusan. Moga bermanfaat ya, dan tolong kritik dan sarannya ya. Salam PAFI.
iklan 336x280 iklan link responsive (adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});

Related Posts

Studi Kasus Farmasi: Batasan Penanggung Jawab & Monopoli
4/ 5
Oleh

2 komentar

3 September 2012 pukul 03.34 delete

ulasannya sangat lengkap pak, cocok sekali untuk bahan kuliah etika dan perundangan farmasi

Reply
avatar
4 September 2012 pukul 02.13 delete

Alhamdulillah, semoga bermanfaat. :)

Reply
avatar