Nilai Asisten Apoteker

Nilai Asisten Apoteker

iklan 336x280 iklan link responsive
iklan 336x280 iklan link responsive

Baca Juga

Perkembangan dan Perubahan Nilai Asisten Apoteker Dulu, Sekarang dan Masa Depan


(Bagian Pertama)

Oleh : Ishak Kunji Mahendra, S.H., M.Kes.

Tanpa kita sadari, telah terjadi pergeseran nilai-nilai paradigma. Hal ini dapat dilihat dari kebijakan pemerintah, dikeluarkannya peraturan perundang-undangan, PP No. 25 Tahun 1980, kemudian disusul dengan dikeluarkannya empat peraturan Permenkes No. 224/Menkes/SK/V/1990, yang merupakan bagian dari paket Mei 1990; keempat peraturan Menteri tentang Perapotikan yang telah dikeluarkan tahun 1981 dicabut.

Peraturan Menteri Kesehatan No. 224/Menkes/SK/V/1990; Bab VII, pasal 23 ayat (1), merupakan peraturan pelaksana dari PP No. 25 tahun 1980 yang paling "Gres". Disebutkan bahwa: "Dalam pelaksanaan pengelolaan apotik, apoteker pengelola apotik dapat dibantu oleh asisten apoteker. Penulis kurang tahu persis apa maksud frasa "dapat dibantu" pada peraturan ini. Yang jelas, menurut kamus bahasa Indonesia yang standar, dapat dibantu berarti bahwa bila dibantu ya boleh, bila tidak diabtu ya tidak apa-apa. Singkat kata, prasa "dapat dibantu" bersifat netral dan hukumnya mubah (mubah adalah suatu perbuatan, yang bila dilakukan tidak mendapatkan pahala dan bila ditinggalkan tidak berdosa, dan juga sebaliknya).

Oh, kasihan benar nasibmu asisten apoteker! Berarti nasib asisten apoteker selanjutnya disingkat AA, memang benar-banr "pembantu", dalam arti bila dibutuhkan majikannya dipakai, bila tidak dibutuhkan ia mesti pulang kampung atau mudik.

Mungkin perlu dikemukakan disini, bahwa dengan adanya paket Mei 1990 (deregulasi bidang farmasi), khususnya perapotikan, maka keempat peraturan pelaksanaan dari PP No. 225 tahun 1980, yang terdiri dari : Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 26/Menkes/SK/V/1981, tentang pengelolaan dan perijinan apotek, keputusan Menteri Kesehatan RI No.278/Menkes/SK/V/1981, tentang persyaratan apotek, keputusan Menteri Kesehatan RI No. 279/Menkes/SK/V/1981, tentang ketentuan dan tata cara perizinan apotek dan keputusan Menteri Kesehatan RI No. 280/Menkes/SK/V/1981, tentang ketentuan dan tata cara pengelolaan apotek, sudah dicabut dan diganti dengan peraturan Menteri Kesehatan RI No. 244?Menkes/SK/V/1990 tentang ketentuan tata cara pemberian izin apotek, yang mana sesuai dengan Permenkes ini profesi AA hanya disebut pada pasal 23, itupun sebagai "pembantu".

Baiklah, frasa "dapat dibantu" pada pasal 23 ayat (1) dari Permenkes No. 244 ini tidak usah kita permasalahkan lagi. Karena, rupanya sulit diubah. Atau mungkin tidak bisa diubah, karena sudah terlanjur disyahkan.

Agar PAFI (Persatuan Ahli Farmasi Indonesia) tidak merasa "nelongso", kita tengok sejenak sejarah PAFI dimasa silam mengenai peranannya dalam pelayanan kesehatan kepada masyarakat, khususnya dibidang kefarmasian.

PAFI merupakan organisasi profesi farmasi tertua yang menghimpun para tenaga yang bhakti karyanya dibidang farmasi minimal lulusan Sekolah Asisten Apoteker atau Sekolah Menangah Farmasi.

Di Jogyakarta PAFI didirikan tahun 1946-an, dimasa itu PAFI mempunyai misi untuk mengusahakan pengadaan obat-obatan yang dibutuhkan masyarakat Indonesia yang sedang mengalami "Class" dengan pasukan sekutu. Peranan AA ini tetap dominan, sampai akahirnya dikeluarkan Undang-undang No.6 Tahun 1963, bahwa tenaga farmasi, yakni AA dalam menjalankan pekerjaan kefarmasian harus berada dibawah pengawasan tenaga tenaga kesehatan sarjana, yaitu apoteker. Bila dilihat dari kacamata Asisten Apoteker, maka era sebelum tahun 1963 merupakan era keemasan bagi Asisten Apoteker, karena AA mempunyai kedudukan yang dominan dalam memerankan peranan sebagai pengelola perbekalan farmasi.

Kita semua juga tahu, bahwa profesi asisten apoteker di Indonesia muncul terlebih dahulu dibanding profesi apoteker. Jadi PAFI lebih dulu mucul dari ISFI. Disini, bukan maksud penulis mengunggulkanasisten apoteker. Tidak! Namun, kondisi ini semata-mata karena pemerintah kolonial Belanda waktu itu hanya mampu mendidik asisten apoteker, itupun rintisannya harus dididik di negeri Belanda.

Jadi kalau melihat perjalanan PAFI, dari dulu hingga sekarang, maka peranan dan sekaligus nasib PAFI makin lama makin surut, bak mentari yang menuju kearah senja, yang akhirnya terbenam.

Ini, dapat disimpulkan bahwa, kalau sekarang AA ini dapat menjalankan profesinya agak tersisih dan tergeser adalah wajar-wajarsaja. Itu semua berkat perkembangan dan kemajuan yang semakin canggih dan profesionalisme dalam
iklan 336x280 iklan link responsive (adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});

Related Posts

Nilai Asisten Apoteker
4/ 5
Oleh

11 komentar

Wan Iwansyah
14 Juni 2009 pukul 09.28 delete

Yth Pak Ishak, saya sangat terkesan dengan tulisan anda, saya usul yang harus kita pikirkan sekarang adalah bagaimana caranya agar profesi AA tetap eksis, tentunya dengan kreativitas dan inovasi pengurus cabang dan pengurus Pusat PAFI serta kesadaran insan2 AA akan pentingnya organisasi profesi merupakan modal utama. Jadi intinya melallui organisasi profesi adalah sebuah solusi dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang ada secara bertahap dan sistematis misalnya: peninjauan produk2 hukum yang kurang atau tidak berpihak kepada pafi (Tugasnya PAFI Pusat), bergandengan tangan dengan PEMDA dalam hal memberikan berbagai masukkan dalam pembuatan PERDA yang terkait dengan kepentingan AA itu sendiri.

Reply
avatar
Pengelola
15 Juni 2009 pukul 01.16 delete

Terima kasih atas masukannya.. Insya Allah saya akn sampaikan bila berjumpa dengan beliau. Bpk Ishak skrg dinas di Banjarmasin, jadi mohon maaf bila tidak bisa secepatnya saya sampaikan..
Salam buat rekan2 pafi di KALBAR.. :smile:

Reply
avatar
surtatie
26 Juni 2009 pukul 07.00 delete

:razz: berharap AA dpt perhatian dengan baik

Reply
avatar
Pengelola
7 Juli 2009 pukul 00.14 delete

Ok.. kita sama2 berharap. :grin:
KArena itu dukung terus teman2 di PAFI ya..

Reply
avatar
atik setyorini
25 Juli 2009 pukul 16.41 delete

bgmn mau sejahtera kalau tenaga AA dinilai murah?? tdk sepadan dgn biaya pendidikan :shock:

Reply
avatar
Pengelola
26 Juli 2009 pukul 21.43 delete

Karena itu, kita semua sebagai AA harus bekerja sama. Insya Allah dengan diwadahi PAFI, yang namanya gaji UMS (Upah Minimun Sektoral) untuk kefarmasian akan terwujud dengan nilai yang sepadan. Amin..:wink:

Reply
avatar
nunung
30 September 2009 pukul 06.47 delete

:lol: Temen sejawat AA dimana aja,jgn ngeributtin gaji alias UMR melulu dong,tp ayolah bersibuk diri dengan menambah ilmu dan wawasan,dari mana aja dan jgn bosen,apalagi menyerah dan merintih terus. mari buat karya disegala bidang,insyaallah gaji yg memuaskan akan mengikutimu dr belakang.bravo!

Reply
avatar
Pengelola
30 September 2009 pukul 21.53 delete

:wink: Gaji bukan segala-galanya, tapi segala-galanya tak berarti tanpa.... :grin:
Plesetan dari salah satu pesan yang selalu saya ingat
Kesehatan bukan segala-galanya, tetapi segala-galanya tek berarti tanpa kesehatan. :lol:

Reply
avatar
adi
9 Desember 2010 pukul 23.24 delete

waduh pendapatnya pak ishak ngomporin PAFI nih... tidak bisa dikatakan nelongso pak.. Kita semua pasti sependapat kalau ilmu itu harus up to date.So wajar kalau tingkat sarjana + profesi lebih diutamakan. AA akan tetap eksis, hanya untuk memperoleh predikat yang terhormat ini harus belajar lebih giat lagi (pendidikannya lebih tinggi). Sangat wajar untuk menyandang gelar terhormat harus melalui pendidikan yang terhormat pula. Saya sendiri seorang AA lulusan SMF yang kebetulan (berusaha) kini telah Apoteker, dan saya bangga dengan background AA saya karena saya lebih handal dibandingkan Apt asal SMA biasa (sedikit nyombong gak pa pa ya..). Yang bikin ribet adalah gelar AA kini bisa disandang oleh banyak tingkat pendidikan dari SMK Farmasi, D3 farmasi hingga sarjana farmasi(?). Impian saya kelak hanya ada ada dua profesi di bidang farmasi yaitu Apoteker yg diperoleh melalui pendidikan s1 + profesi dan Asisten Apoteker yang diperoleh melalui pendidikan ... ini yang repot harus pilih salah satu di antara 3 (SMK Farmasi, D3 Farmasi atau Sarjana Farmasi). How ???

Reply
avatar
Denmas Wahyu
25 Desember 2010 pukul 09.23 delete

Yg salah kaprah itu sebenarnya siapa ya ? Kita dari SAA/SMF sekarang udah gak laku lagi bersaing di CPNS. padahal formasi yang dicantumkan jelas Asisten apoteker. kalo mau mengulang sejarah SAA itu singkatan Sekolah Asisten Apoteker tul ga ? Yg mengherankan untuk formasi AA kok kualifikasi pendidikan DIII farmasi kalo boleh tanya apa sih kelebihan DIII farmasi dari kami anak2 SMA/SMF. maaf buat yang merasa dari DIII, sekedar untuk diketahui :

1. Tes masuk SMF/SAA diawasi dan distandarisai langsung PUSDIKNAKES.
( jadi ga asal punya uang bisa sekolah disitu )
2. Jumlah siswa yang diterima di setiap angkatan dibatasi 120 org untuk SMF/SAA
dgn akreditasi A, 80 org akreditasi B, 40 org akreditasi c.
( kalo kampus kan asal banyak mahasiswa makin untung tuh yayasannya )
3. Biaya sekolah di SMF/SAA setara dengan biaya kuliah. Bayangkan waktu tahun
1997 aja biaya per semester hampir 700ribu. thn 2000 saya kuliah di S1
Farmasi persemester 850 ribu.
4. Survey menunjukan kemampuan kerja AA dari SMF/SAA lebih disukai di pasar
kerja.

jadi saran saya kalo CPNS memang mengharuskan kualifikasi dari DIII farmasi cari nama formasi lain aja jangan pake ASISTEN APOTEKER.!!!!!

Reply
avatar
gadia
9 April 2011 pukul 15.22 delete

kuarang setuju itu tentang nasib AA masalahnya di sini di setiap apotek itu harus ada AA jd memeng perlu bkannya jd pembantu

Reply
avatar